oleh : SUPARDI LEE
Kunci 1:
Pengetahuan yang Dilakukan
Suatu kali, Peter Spann, penulis buku Wealth Magic dan jutawan dari Australia diminta datang ke tempat temannya. Sang teman akan memberitahukan satu kunci menuju kekayaan dan kesuksesan luar biasa. Waktu itu, Peter adalah seorang pemuda yang berada diambang putus asa. Kehidupannya sedang meluncur ke titik nadir. Dijanjikan suatu hal yang ia idam-idamkan, Peter sangat bersemangat menunggu waktu perjumpaannya dengan sang teman.
Akhirnya hari itu pun tiba. Peter telah bersiap dan tampil dengan performa terbaiknya. Ia berpikir: “Inilah momen luar biasa dalam hidupku. Aku harus menyambutnya dengan tampilan terbaik.” Berangkatlah Peter ke tempat temannya. Mengendarai mobil bututnya. Mobil yang bila ada lampu merah dan berhenti, punya kemungkinan mogok di atas 75%. Jadi bila ia sampai di lampu merah, Peter pun berteriak: “Hijau, hijau, hijau”. Sampai disana, Peter disambut sang teman. Mereka pun duduk dan mulai ngobrol. Sampai tibalah pada saat menegangkan itu. Sang teman pun menjelaskan kunci suksesnya :
“Peter, kalau kamu mau sukses dan kaya raya, kuncinya cuma satu : Lakukan apa-apa yang kamu ketahui.
PENGETAHUAN YANG DILAKUKAN ADALAH KUNCI UTAMA KESUKSESAN”
Peter bengong. Ia tak menduga teman suksesnya akan mengatakan hal sederhana itu. Ia menduga kunci sukses itu pastilah sesuatu yang istimewa. Sesuatu yang spesial dan rahasia. Sesuatu yang... wah. Tapi ternyata yang ia dapati adalah hal sederhana itu.
Temannya tertawa. “Peter, aku tahu kamu kaget. Kamu pasti menduga kunci sukses itu sesuatu yang luar biasa. Tidak Peter. Mencapai sukses adalah hal sederhana. Karena itu kuncinya pun sederhana. Pengetahuan yang dilakukan. Semua orang dapat melakukannya. Artinya semua orang dapat menjadi sukses.”
Sepulang dari tempat temannya, Peter mulai melakukan kunci sukses itu. Dari hari ke hari ia berkembang. Tujuh tahun semenjak hari itu, Peter Spann telah berubah dari pemuda melarat menjadi konglomerat baru di Australia. Pengetahuan yang dilakukan telah memberi bukti keberhasilannya. Lagi. Dan lagi. Dan lagi.
Nah saudara, buku ini adalah pengetahuan mencapai sukses itu. Pengetahuan itu begitu sederhana. Tapi bila hal sederhana ini tidak dilakukan, maka sukses pun tidak dapat diraih.
Selamat melakukan pengetahuan anda.
Selamat meraih sukses.
Kunci 2:
Bayar Harga Kesuksesan
“Saya siap bayar Rp. 10 juta.” Begitu kata klien yang juga teman saya. Bagi dia, Rp.10 juta sangat besar artinya. Tapi ia mau membayarnya. Untuk satu transaksi. Gimana ceritanya bisa begitu?
Ia punya keinginan. Menikah. Ia telah berusaha sekuat tenaga. Sekian tahun belum berhasil. Padahal, ia telah mulai mapan. Gajinya lumayan. Pendapatannya pun bertambah dari proyek-proyek yang ia garap. Posisi karirnya terus menanjak. Ia pun gadis yang cantik.
Kami pun bertemu. Ia ceritakan masalahnya. Berikut perbincangan kami, sampai ia mau bertransaksi senilai sepuluh juta rupiah itu.
Klien : “Di , saya benar-benar ingin menikah. Orang tua saya mendesak terus.”
Penulis : “Itu wajar. Namanya juga orang tua. Ingin cepat nimang cucu, kan?”
Klien : “Saya udah berusaha keras. Tapi sampai sekarang gagal terus. Saya jadi bosen. Sekarang, saya jadi enjoy ke kerjaan. Saya malah ingin lanjutin sekolah ke luar negeri. Niat nikah jadi drop. Kemarin orang tua saya nelpon saya dan menanyakan hal itu lagi.”
Penulis :“Oke sekarang kita langsung ke masalahnya. Yang pertama anda harus lakukan adalah FOKUS pada keinginan anda untuk menikah. Sekarang saya tanya, mana lebih penting untuk anda : Karir atau menikah?
Klien : “Nikah dong, Pak.”
Penulis : “Apa iya? Kenapa anda jadi lebih enjoy kerja daripada usaha dapat jodoh.”
Klien : “Ya,...nggak tahu lah.”
Penulis : “Saya menduga karena anda mendapat kesenangan dari kerja. Anda berprestasi. Prestasi anda dihargai. Teman-teman memuji. Itu kesenangan yang anda rasakan. Tapi di urusan nikah, anda gagal terus. Itu menyakitkan. Anda pun memilih kerja. Karena itu jauh lebih menyenangkan.”
Klien : “Saya pikir begitu.”
Penulis : “Anda mau ngejomlo terus? Kaya kakak-kakak kelas itu (saya sebut nama dua perempuan yang sama-sama kami kenal). Mereka udah hampir 40 tahun. Tapi belum nikah. Mau kayak mereka?”
Klien : “Ih,... nggak mau lah.”
Penulis : “Nah, anda mau nikah karena tiga hal setidaknya. Pertama, anda kesel didesak orang tua terus. Kedua, anda pun ingin menghindari situasi kakak-kakak kelas itu. Anda nggak mau jomblo forever. Ketiga, anda tahu nikah itu ueeenaak banget. Ha..ha..ha.
Klien : “Ya, itu bener.”
Penulis : “Itu berarti anda sudah punya motivasi yang kuat.” Nah, langkah pertama adalah menetapkan tujuan anda dengan jelas. Anda punya pilihan. Menikah, Karir, atau sekolah lagi. Saat ini anda harus memilih menikah. Artinya, anda harus mendahulukan menikah dari karir dan sekolah”.
Klien : ”OK. Saya pilih menikah”.
Penulis : “Bagus. Sekarang saya ingin anda janji. Kalau ada proyek kerjaan atau beasiswa sekolah, anda akan tolak dua peluang itu. Gimana?”
Klien : “Apa emang harus begitu?”
Penulis : “Iya. Itu bukti anda memilih dan memprioritaskan. Gimana?”
Klien : “Oke. Saya janji.’
Penulis : “Langkah kedua adalah yakin. Yakinlah kalau keinginan anda itu pasti tercapai. Yakinlah kalau Tuhan dan seluruh alam akan bekerja untuk mewujudkan tujuan anda itu. Untuk itu anda harus membuktikannya juga.
Klien : “Apa buktinya?”
Penulis : “Bayar saya Rp. 10 juta.”
Klien : “Sepuluh juta?Anda gila? Itu besar sekali untuk saya.”
Penulis : “Ha..ha..ha.. Ya, itu bukti kalau anda sangat-sangat serius ingin menikah. Orang yang sangat-sangat serius akan berkorban apapun untuk keinginannya. Pengorbanan itu buktinya. Makin berat pengorbanan itu makin baik. Tuhan dan alam juga akan serius mendukung orang yang sangat serius berkorban untuk keinginannya. Karena saya tahu, uang sangat berarti untuk anda, saya tetapkan sebesar itu. Biar terasa beratnya.”
Klien : “Ehm...”
Penulis : Keputusannya ada pada anda. Anda selalu punya pilihan. Berpikir hal itu benar dan anda akan setuju. Atau anda berpikir, ini hanya untuk keuntungan saya dan anda tidak akan setuju.”
Klien : “Tapi anda kan memang akan untung sepuluh juta?”
Penulis : “Ya anda benar. Saya harus jujur. Saya untung sepuluh juta. Bagi saya, keuntungan itu adalah akibat keseriusan anda. Tapi itu bukan tujuan saya. Tujuan saya adalah membantu anda mencapai tujuan anda. Anda bisa saja tidak membayar saya sama sekali. Anda toh teman saya. Masa saya tidak mau bantu. Tapi dengan begitu, anda tidak terbukti serius. Tuhan dan alam pun tidak akan serius membantu anda. Bahkan, anda sendiri, akan ragu-ragu. Seperti yang terjadi selama ini.”
Klien : “Kalau begitu, saya siap bayar Rp. 10 juta.”
Penulis : “Oke. Deal?”
Klien : “Deal”
Penulis : “Sekarang langkah berikutnya. Anda sudah punya calon yang anda suka?”
Klien : “Sudah. Ada dua. Namanya... (ia sebut dua nama).
Penulis : “Wah, itu nggak boleh. Anda mesti fokus pada satu orang. Hanya boleh ada satu rencana. No Plan B. Siapa diantara kedua yang lebih baik menurut anda?”
Klien : “Oke. Si X (ia menyebut sebuah nama)
Penulis : “Kapan anda mau nikah?”
Klien : “Tahun depan.”
Penulis : “Oke. Good. Kalau begitu anda sudah benar-benar siap. Saya akan langsung beraksi. Begitupun dengan anda. Aksi pertama anda adalah tulis di kertas: “Terima kasih Tuhan, saya telah menikah dengan Mr. X pada Oktober 2006.”
Klien : “Lho, saya kan belum menikah? Kenapa ditulisnya sudah?”
Penulis : “Sekarang 2005. anda memang belum nikah. Tapi pada 2006, kan udah nikah. Jadi anda menulisnya pake kata sudah. Itu goal statement yang berdasarkan keyakinan yang benar dan kuat. Tempel di tempat-tempat yang sering anda lihat.”
Klien : “Oke. Saya jadi semangat banget nih”
Penulis : “Iya lah. Nikaah. Oke sudah cukup sekarang. Ini nomer rekening saya...”
Klien : “Segera saya transfer. Thanks”
Perbincangan selesai. Kami pun berpisah.
Catatan:
(Kasus diatas benar-benar terjadi. tapi dalam penulisannya, saya lakukan sedikit penyesuaian, seperti nama-nama yang tidak disebut dan sebagainya)
Saudara, sukses ada harganya. Siapa yang membayar harga kesuksesan, ia bisa meraihnya. Sebaliknya, siapapun yang tak membayar harga kesuksesan, dipastikan ia akan gagal. Meskipun banyak peluang disodorkan padanya. Sukses berkaitan dengan mengatasi masalah di setiap peluang.
Mari perhatikan satu contoh sederhana. Katakanlah calon istri anda meminta mas kawin pada anda sebesar Rp. 100 (seratus rupiah). Mas kawin yang sederhana dan ringan, kan? Tapi bila anda tidak membayarnya, apakah anda jadi nikah? Tidak! Pernikahan tak sah karena anda tak mau membayar mas kawinnya. Padahal mas kawin itu hanya Rp. 100.-. Mungkin calon istri anda akan memutuskan untuk menikah dengan pria lain. Ia mungkin berpikir: “Saya kan cuman minta seratus perak, dia nggak mau bayar. Gimana kalau saya minta lebih?”
Begitu juga dengan sukses. Ia ada harganya. Kadang harga sukses itu murah sekali. Kadang malah mahal sekali. Memang bukan murah mahalnya harga kesuksesan yang jadi masalah. Lalu apa? Masalahnya adalah : Apakah kita membayarnya atau tidak. Bila anda tahu harga sukses itu mahal, tapi anda benar-benar ingin jadi orang sukses, maka anda akan membayar harga mahal itu.
Saudara, semahal atau semurah apa sih harga sukses anda? Tergantung sukses yang anda inginkan. Bila sukses itu berarti anda punya penghasilan Rp. 1 juta per bulan, maka harga suksesnya pasti lebih murah dibanding dengan sukses berarti punya penghasilan Rp. 1 milyar per bulan. Iya kan?
Mari simak harga suksesnya Thomas Alfa Edison. Baginya, sukses berarti berhasil menciptkan bola lampu. Berapa harganya? Harganya adalah 10.000 percobaan. Thomas Alfa Edison membayar harga kesuksesannya. Ia pun sukses. Ia akan dikenang manusia modern sepanjang masa atas jasa-jasanya. Harga sukses Edison itu mungkin mahal untuk banyak orang. Tapi harga itu sangat sepadan dengan hasilnya.
Sama juga dengan Kolonel Sanders. Baginya sukses berarti ada orang yang mau diajak kerjasama mengembangkan restoran ayam berdasar resep darinya. Berapa harganya? 1009 penawaran yang ditolak. Padahal Kolonel Sanders sudah berusia 65 tahun ketika memulai menawarkan resep ayamnya pada orang-orang. Sang Kolonel pun sukses. Ia membayar harga kesuksesannya.
Contoh bagus lain diberikan Abraham Lincoln. Sukses baginya adalah menjadi Presiden Amerika Serikat. Berapa harganya? Mari kita simak perjalanan hidupnya:
Gagal dalam bisnis, usia 31 tahun.
Kalah dalam pencalonan legislatif , usia 32 tahun.
Gagal lagi dalam bisnis, usia 34 tahun.
Kehilangan kekasihnya yang meninggal, usia 35
Depresi mendalam, usia 36
Kalah dalam pemilihan, usia 38.
Kalah dalam pencalonan anggota konggres, usia 43
Kalah dalam pencalonan anggota konggres, usia 46
Kalah dalam pencalonan anggota konggres, usia 48
Kalah dalam pencalonan senator, usia 55
Gagal dalam usaha menjadi wakil presiden, usia 56.
Kalah dalam pencalonan senator, usia 58.
Terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat, usia 60.
Abraham Lincoln siap terus kalah dalam pemilihan, gagal dalam bisnis dan sebagainya. Ia sadar, itulah harga kesuksesannya. Dan, ketika ia mau membayarnya, sukses pun ia raih. Apa yang terjadi padanya, ketika di usia 58, setelah ia kalah dalam pencalonan senator, ia memutuskan berhenti dari dunia politik. Mungkinkah ia menjadi presiden legendaris Amerika? Saya yakin tidak. Sejarah tidak akan mencatatnya sebagai salah seorang presiden Amerika.
Saudara, itulah rumus kesuksesan. Sederhana, kan?
Maukah anda sukses? Pasti mau.
Maukah anda membayar harga kesuksesan anda? Saya yakin anda mau juga.
Kunci 3:
Sumberdaya anda,
untuk Konsumsi Leher ke bawah atau Investasi leher ke atas.
Siapa orang sukses yang anda kagumi? Kalau saya, salah satunya adalah Bill Gates. Orang terkaya di dunia saat ini (tahun 2006). Kalau untuk anda, mungkin beda. Nggak apa-apa. Bagi anda yang senang sepakbola, mungkin Ronaldinho, orang sukses yang anda kagumi. Bagi anda yang gemar golf, Tiger Wood mungkin pilihan terbaik. Bagi anda yang gemar film, wah banyak sekali ya. Bagi anda yang gemar politik, mungkin Mahathir Muhammad, tokoh yang anda kagumi. Bagi anda yang senang berbisnis, mungkin Donald Trump dan Robert T. Kiyosaki menjadi pilihan anda. Ah,.. cukuplah contohnya, ya.
Sekarang pertanyaannya adalah mengapa mereka bisa sukses, sedang sebagian besar orang lain tidak? Padahal sumberdaya yang dimiliki oleh semua orang sama? Apakah volume otak Bill Gates, Ronaldinho, Tiger Wood, Mahathir Muhammad, Donald Trump, dan Robert T. Kiyosaki beda dengan sebagian besar manusia? Jelas tidak. Apakah waktu yang mereka miliki per hari lebih banyak? Jelas tidak. Apakah mereka punya tambahan indera selain indera-indera yang kita punya? Jelas tidak. Apakah mereka semua lahir dari kalangan orang kaya dan sukses? Tidak semua. Jadi, volume otak, jumlah waktu yang dimiliki per hari, indera, dan keturunan tidak berpengaruh pada kesuksesan mereka. Kalau bukan hal-hal itu, lalu perbedaan apa yang membedakan mereka dari sebagian besar orang?
Guru saya, Pak Zainal Abidin, memberikan penjelasan. Menurutnya, bukan jumlah waktu yang menentukan, tapi bagaimana memanfaatkan waktu itulah perbedaannya. Bukan volume otak yang berpengaruh, tapi apa yang dimasukkan ke dalam otak itulah perbedaannya. Satu lagi, bukan jumlah uangnya yang berpengaruh besar, tapi untuk apa uang itulah yang membedakan.
Contoh sederhana begini:
Pada pukul 20.00 – 22.00 setiap malam, apa yang anda lakukan? Banyak pilihannya. Anda bisa nonton sinetron di satu stasiun TV. Anda bisa menyimak diskusi politik di stasiun TV yang lain. Anda pun bisa makan malam di restoran favorit anda. Anda bisa ngobrol dengan tetangga di pos hansip. Anda bisa baca komik. Anda pun bisa baca buku ini. Anda bisa bercanda ria dengan anak istri. Anda bisa main catur dengan tetangga. Tapi mana pilihan aktivitas yang menghantarkan anda pada sukses, mana yang bukan?
Anda bisa saja nonton TV. Tapi, apa yang anda tonton akan menghasilkan dampak yang berbeda. Bila pilihan anda jatuh pada sinetron, anda mungkin terhibur, tapi apakah anda bisa lebih sukses? Sama pula dengan baca. Baca buku ini dengan baca komik jelas beda dampaknya. Saya sih yakin baca buku ini lebih banyak manfaatnya (He..he..he... ).
Nah saudara, setiap manusia diberikan modal dasar yang relatif sama. Perbedaan baru muncul dengan bedanya tindakan kita dalam memanfaatkan sumberdaya itu. Secara garis besar, bisa dibagi dua:
1. Orang sukses menggunakan sumberdayanya (waktu, tenaga, pikiran, uang, dsb) untuk meningkatkan kualitas dirinya. Disebutnya investai untuk hal-hal yang di atas leher. Tepatnya otak. Kenapa investasi? Karena istilah investasi tepat. Ia sesuatu yang menghasilkan manfaat terus menerus.
2. Orang gagal menggunakan sumberdayanya (waktu, tenaga, pikiran, uang, dsb) untuk kesenangan dirinya saja. Disebutnya konsumsi untuk hal-hal yang di bawah leher. Kenapa konsumsi? Karena istilah ini tepat untuk menggambarkan sesuatu yang manfaatnya sekali habis.
Contoh : anda punya uang Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).
Bila anda gunakan uang tersebut untuk beli buku pengembangan diri, lalu membaca dan melakukannya, maka anda sedang melakukan investasi leher ke atas. Tapi, bila anda manfaatkan uang itu untuk makan malam di restoran favorit anda, maka anda sedang melakukan konsumsi leher ke bawah.
Lalu apa perbedaannya?
Membeli, membaca dan melakukan buku pengembangan diri berarti anda telah meningkatkan kualitas diri anda. Manfaatnya pun jangka panjang. Pengetahuan yang telah anda tahu, bisa bermanfaat terus selama anda hidup. Meski lupa, anda bisa membaca bukunya lagi dan mengingatnya lagi. Iya, kan?
Berbeda dengan makan di resto favorit anda. Manfaatnya anda bisa kenyang dan senang. Tapi seberapa lama? Sebentar saja bukan? Besok paginya anda sudah lapar lagi. Kesenangan yang anda dapat pun mungkin sudah tak terasa lagi. Selesai. Dampak Rp. 100.000 anda hilang dalam semalam. Beda dengan baca buku, kan?
Selain itu, pendapatan anda, secara langsung dipengaruhi oleh investasi anda untuk leher ke atas. Bukan oleh konsumsi anda untuk leher ke bawah.
Contoh :
Bila anda punya perusahaan. Anda punya dua orang karyawan. Satu lulusan SMP. Satunya lagi sarjana. Usia keduanya sama. Dan dua-duanya belum punya pengalaman kerja dimanapun. Di posisi apa anda akan akan menempatkan keduanya? Bagaimana pula anda menggajinya? Saya yakin, posisi karyawan yang sarjana lebih baik dari posisi karyawan yang lulusan SMP. Gajinya pun beda. Gaji karyawan sarjana lebih tinggi dari karyawan lulusan SMP. Mengapa begitu? Saya yakin karena menurut anda kemampuan keduanya beda. Karyawan sarjana lebih banyak menginvestasikan sumberdayanya untuk leher ke atas dibanding karyawan lulusan SMP.
Dalam contoh di atas, ukurannya adalah pendidikan. Anda mungkin bertanya: “Mungkin tidak, ada lulusan SMP yang jadi atasan sedang bawahannya para sarjana?” Jawabannya mungkin dan buktinya banyak. Bill Gates bukan sarjana. Tapi karyawannya ada yang profesor. Lalu apa perbedaan yang membedakan tingkat kesuksesan orang? Jawabannya seberapa banyak sumberdaya yang diinvestasikan untuk leher ke atas?
Sangat mungkin seorang lulusan SMP lebih hebat dibanding sarjana. Bagaimana bisa? Bisa, bila sang lulusan SMP lebih banyak menginvestasikan sumberdayanya (waktu, uang, tenaga, pikiran, dsb) untuk investasi leher ke atas.
Misalnya anda lulusan SMP. Anda senang ikut berbagai kursus. Anda ikut kursus bahasa Inggris, kursus komputer, kursus pengembangan kepribadian, senang baca buku positif, senang bergaul dengan orang-orang sukses, punya rasa ingin tahu yang tinggi dan gemar bertanya. Kualitas anda pasti lebih dari sarjana yang masuk universitasnya nyogok, kuliahnya sering bolos, setiap malam dugem ke diskotik, kalau ujian nyontek, nggak senang baca buku, nggak betah ikut pelatihan atau seminar, nggak bisa komputer padahal komputernya punya. Dengan kompetensi anda seperti itu, maka saya yakin pendapatan anda pun akan lebih dari sang sarjana yang kurang kompeten tersebut.
Saudara, investasi leher ke atas lah yang membuat anda sukses. Bukan konsumsi leher ke bawah. Kenapa begitu? Karena investasi leher ke atas dapat meningkatkan kualitas diri anda. Kualitas diri anda itulah yang dapat meningkatkan pendapatan anda, dan mempercepat kesukesan anda.
Inilah perbedaan yang membedakan orang-orang sukses (ACHIEVER) dengan orang-orang biasa saja (SAVE SEEKER) dan orang-orang gagal (LOOSER).
Orang-orang sukses lebih banyak menginvestasikan suberdayanya untuk leher ke atas (kompetensi).
Orang-orang biasa lebih banyak mengkonsumsikan sumberdayanya untuk leher ke bawah. Sedang orang-orang gagal, mereka merusak sumberdaya yang mereka miliki.
[Sumber : dari seorang teman]
Kunci 1:
Pengetahuan yang Dilakukan
Suatu kali, Peter Spann, penulis buku Wealth Magic dan jutawan dari Australia diminta datang ke tempat temannya. Sang teman akan memberitahukan satu kunci menuju kekayaan dan kesuksesan luar biasa. Waktu itu, Peter adalah seorang pemuda yang berada diambang putus asa. Kehidupannya sedang meluncur ke titik nadir. Dijanjikan suatu hal yang ia idam-idamkan, Peter sangat bersemangat menunggu waktu perjumpaannya dengan sang teman.
Akhirnya hari itu pun tiba. Peter telah bersiap dan tampil dengan performa terbaiknya. Ia berpikir: “Inilah momen luar biasa dalam hidupku. Aku harus menyambutnya dengan tampilan terbaik.” Berangkatlah Peter ke tempat temannya. Mengendarai mobil bututnya. Mobil yang bila ada lampu merah dan berhenti, punya kemungkinan mogok di atas 75%. Jadi bila ia sampai di lampu merah, Peter pun berteriak: “Hijau, hijau, hijau”. Sampai disana, Peter disambut sang teman. Mereka pun duduk dan mulai ngobrol. Sampai tibalah pada saat menegangkan itu. Sang teman pun menjelaskan kunci suksesnya :
“Peter, kalau kamu mau sukses dan kaya raya, kuncinya cuma satu : Lakukan apa-apa yang kamu ketahui.
PENGETAHUAN YANG DILAKUKAN ADALAH KUNCI UTAMA KESUKSESAN”
Peter bengong. Ia tak menduga teman suksesnya akan mengatakan hal sederhana itu. Ia menduga kunci sukses itu pastilah sesuatu yang istimewa. Sesuatu yang spesial dan rahasia. Sesuatu yang... wah. Tapi ternyata yang ia dapati adalah hal sederhana itu.
Temannya tertawa. “Peter, aku tahu kamu kaget. Kamu pasti menduga kunci sukses itu sesuatu yang luar biasa. Tidak Peter. Mencapai sukses adalah hal sederhana. Karena itu kuncinya pun sederhana. Pengetahuan yang dilakukan. Semua orang dapat melakukannya. Artinya semua orang dapat menjadi sukses.”
Sepulang dari tempat temannya, Peter mulai melakukan kunci sukses itu. Dari hari ke hari ia berkembang. Tujuh tahun semenjak hari itu, Peter Spann telah berubah dari pemuda melarat menjadi konglomerat baru di Australia. Pengetahuan yang dilakukan telah memberi bukti keberhasilannya. Lagi. Dan lagi. Dan lagi.
Nah saudara, buku ini adalah pengetahuan mencapai sukses itu. Pengetahuan itu begitu sederhana. Tapi bila hal sederhana ini tidak dilakukan, maka sukses pun tidak dapat diraih.
Selamat melakukan pengetahuan anda.
Selamat meraih sukses.
Kunci 2:
Bayar Harga Kesuksesan
“Saya siap bayar Rp. 10 juta.” Begitu kata klien yang juga teman saya. Bagi dia, Rp.10 juta sangat besar artinya. Tapi ia mau membayarnya. Untuk satu transaksi. Gimana ceritanya bisa begitu?
Ia punya keinginan. Menikah. Ia telah berusaha sekuat tenaga. Sekian tahun belum berhasil. Padahal, ia telah mulai mapan. Gajinya lumayan. Pendapatannya pun bertambah dari proyek-proyek yang ia garap. Posisi karirnya terus menanjak. Ia pun gadis yang cantik.
Kami pun bertemu. Ia ceritakan masalahnya. Berikut perbincangan kami, sampai ia mau bertransaksi senilai sepuluh juta rupiah itu.
Klien : “Di , saya benar-benar ingin menikah. Orang tua saya mendesak terus.”
Penulis : “Itu wajar. Namanya juga orang tua. Ingin cepat nimang cucu, kan?”
Klien : “Saya udah berusaha keras. Tapi sampai sekarang gagal terus. Saya jadi bosen. Sekarang, saya jadi enjoy ke kerjaan. Saya malah ingin lanjutin sekolah ke luar negeri. Niat nikah jadi drop. Kemarin orang tua saya nelpon saya dan menanyakan hal itu lagi.”
Penulis :“Oke sekarang kita langsung ke masalahnya. Yang pertama anda harus lakukan adalah FOKUS pada keinginan anda untuk menikah. Sekarang saya tanya, mana lebih penting untuk anda : Karir atau menikah?
Klien : “Nikah dong, Pak.”
Penulis : “Apa iya? Kenapa anda jadi lebih enjoy kerja daripada usaha dapat jodoh.”
Klien : “Ya,...nggak tahu lah.”
Penulis : “Saya menduga karena anda mendapat kesenangan dari kerja. Anda berprestasi. Prestasi anda dihargai. Teman-teman memuji. Itu kesenangan yang anda rasakan. Tapi di urusan nikah, anda gagal terus. Itu menyakitkan. Anda pun memilih kerja. Karena itu jauh lebih menyenangkan.”
Klien : “Saya pikir begitu.”
Penulis : “Anda mau ngejomlo terus? Kaya kakak-kakak kelas itu (saya sebut nama dua perempuan yang sama-sama kami kenal). Mereka udah hampir 40 tahun. Tapi belum nikah. Mau kayak mereka?”
Klien : “Ih,... nggak mau lah.”
Penulis : “Nah, anda mau nikah karena tiga hal setidaknya. Pertama, anda kesel didesak orang tua terus. Kedua, anda pun ingin menghindari situasi kakak-kakak kelas itu. Anda nggak mau jomblo forever. Ketiga, anda tahu nikah itu ueeenaak banget. Ha..ha..ha.
Klien : “Ya, itu bener.”
Penulis : “Itu berarti anda sudah punya motivasi yang kuat.” Nah, langkah pertama adalah menetapkan tujuan anda dengan jelas. Anda punya pilihan. Menikah, Karir, atau sekolah lagi. Saat ini anda harus memilih menikah. Artinya, anda harus mendahulukan menikah dari karir dan sekolah”.
Klien : ”OK. Saya pilih menikah”.
Penulis : “Bagus. Sekarang saya ingin anda janji. Kalau ada proyek kerjaan atau beasiswa sekolah, anda akan tolak dua peluang itu. Gimana?”
Klien : “Apa emang harus begitu?”
Penulis : “Iya. Itu bukti anda memilih dan memprioritaskan. Gimana?”
Klien : “Oke. Saya janji.’
Penulis : “Langkah kedua adalah yakin. Yakinlah kalau keinginan anda itu pasti tercapai. Yakinlah kalau Tuhan dan seluruh alam akan bekerja untuk mewujudkan tujuan anda itu. Untuk itu anda harus membuktikannya juga.
Klien : “Apa buktinya?”
Penulis : “Bayar saya Rp. 10 juta.”
Klien : “Sepuluh juta?Anda gila? Itu besar sekali untuk saya.”
Penulis : “Ha..ha..ha.. Ya, itu bukti kalau anda sangat-sangat serius ingin menikah. Orang yang sangat-sangat serius akan berkorban apapun untuk keinginannya. Pengorbanan itu buktinya. Makin berat pengorbanan itu makin baik. Tuhan dan alam juga akan serius mendukung orang yang sangat serius berkorban untuk keinginannya. Karena saya tahu, uang sangat berarti untuk anda, saya tetapkan sebesar itu. Biar terasa beratnya.”
Klien : “Ehm...”
Penulis : Keputusannya ada pada anda. Anda selalu punya pilihan. Berpikir hal itu benar dan anda akan setuju. Atau anda berpikir, ini hanya untuk keuntungan saya dan anda tidak akan setuju.”
Klien : “Tapi anda kan memang akan untung sepuluh juta?”
Penulis : “Ya anda benar. Saya harus jujur. Saya untung sepuluh juta. Bagi saya, keuntungan itu adalah akibat keseriusan anda. Tapi itu bukan tujuan saya. Tujuan saya adalah membantu anda mencapai tujuan anda. Anda bisa saja tidak membayar saya sama sekali. Anda toh teman saya. Masa saya tidak mau bantu. Tapi dengan begitu, anda tidak terbukti serius. Tuhan dan alam pun tidak akan serius membantu anda. Bahkan, anda sendiri, akan ragu-ragu. Seperti yang terjadi selama ini.”
Klien : “Kalau begitu, saya siap bayar Rp. 10 juta.”
Penulis : “Oke. Deal?”
Klien : “Deal”
Penulis : “Sekarang langkah berikutnya. Anda sudah punya calon yang anda suka?”
Klien : “Sudah. Ada dua. Namanya... (ia sebut dua nama).
Penulis : “Wah, itu nggak boleh. Anda mesti fokus pada satu orang. Hanya boleh ada satu rencana. No Plan B. Siapa diantara kedua yang lebih baik menurut anda?”
Klien : “Oke. Si X (ia menyebut sebuah nama)
Penulis : “Kapan anda mau nikah?”
Klien : “Tahun depan.”
Penulis : “Oke. Good. Kalau begitu anda sudah benar-benar siap. Saya akan langsung beraksi. Begitupun dengan anda. Aksi pertama anda adalah tulis di kertas: “Terima kasih Tuhan, saya telah menikah dengan Mr. X pada Oktober 2006.”
Klien : “Lho, saya kan belum menikah? Kenapa ditulisnya sudah?”
Penulis : “Sekarang 2005. anda memang belum nikah. Tapi pada 2006, kan udah nikah. Jadi anda menulisnya pake kata sudah. Itu goal statement yang berdasarkan keyakinan yang benar dan kuat. Tempel di tempat-tempat yang sering anda lihat.”
Klien : “Oke. Saya jadi semangat banget nih”
Penulis : “Iya lah. Nikaah. Oke sudah cukup sekarang. Ini nomer rekening saya...”
Klien : “Segera saya transfer. Thanks”
Perbincangan selesai. Kami pun berpisah.
Catatan:
(Kasus diatas benar-benar terjadi. tapi dalam penulisannya, saya lakukan sedikit penyesuaian, seperti nama-nama yang tidak disebut dan sebagainya)
Saudara, sukses ada harganya. Siapa yang membayar harga kesuksesan, ia bisa meraihnya. Sebaliknya, siapapun yang tak membayar harga kesuksesan, dipastikan ia akan gagal. Meskipun banyak peluang disodorkan padanya. Sukses berkaitan dengan mengatasi masalah di setiap peluang.
Mari perhatikan satu contoh sederhana. Katakanlah calon istri anda meminta mas kawin pada anda sebesar Rp. 100 (seratus rupiah). Mas kawin yang sederhana dan ringan, kan? Tapi bila anda tidak membayarnya, apakah anda jadi nikah? Tidak! Pernikahan tak sah karena anda tak mau membayar mas kawinnya. Padahal mas kawin itu hanya Rp. 100.-. Mungkin calon istri anda akan memutuskan untuk menikah dengan pria lain. Ia mungkin berpikir: “Saya kan cuman minta seratus perak, dia nggak mau bayar. Gimana kalau saya minta lebih?”
Begitu juga dengan sukses. Ia ada harganya. Kadang harga sukses itu murah sekali. Kadang malah mahal sekali. Memang bukan murah mahalnya harga kesuksesan yang jadi masalah. Lalu apa? Masalahnya adalah : Apakah kita membayarnya atau tidak. Bila anda tahu harga sukses itu mahal, tapi anda benar-benar ingin jadi orang sukses, maka anda akan membayar harga mahal itu.
Saudara, semahal atau semurah apa sih harga sukses anda? Tergantung sukses yang anda inginkan. Bila sukses itu berarti anda punya penghasilan Rp. 1 juta per bulan, maka harga suksesnya pasti lebih murah dibanding dengan sukses berarti punya penghasilan Rp. 1 milyar per bulan. Iya kan?
Mari simak harga suksesnya Thomas Alfa Edison. Baginya, sukses berarti berhasil menciptkan bola lampu. Berapa harganya? Harganya adalah 10.000 percobaan. Thomas Alfa Edison membayar harga kesuksesannya. Ia pun sukses. Ia akan dikenang manusia modern sepanjang masa atas jasa-jasanya. Harga sukses Edison itu mungkin mahal untuk banyak orang. Tapi harga itu sangat sepadan dengan hasilnya.
Sama juga dengan Kolonel Sanders. Baginya sukses berarti ada orang yang mau diajak kerjasama mengembangkan restoran ayam berdasar resep darinya. Berapa harganya? 1009 penawaran yang ditolak. Padahal Kolonel Sanders sudah berusia 65 tahun ketika memulai menawarkan resep ayamnya pada orang-orang. Sang Kolonel pun sukses. Ia membayar harga kesuksesannya.
Contoh bagus lain diberikan Abraham Lincoln. Sukses baginya adalah menjadi Presiden Amerika Serikat. Berapa harganya? Mari kita simak perjalanan hidupnya:
Gagal dalam bisnis, usia 31 tahun.
Kalah dalam pencalonan legislatif , usia 32 tahun.
Gagal lagi dalam bisnis, usia 34 tahun.
Kehilangan kekasihnya yang meninggal, usia 35
Depresi mendalam, usia 36
Kalah dalam pemilihan, usia 38.
Kalah dalam pencalonan anggota konggres, usia 43
Kalah dalam pencalonan anggota konggres, usia 46
Kalah dalam pencalonan anggota konggres, usia 48
Kalah dalam pencalonan senator, usia 55
Gagal dalam usaha menjadi wakil presiden, usia 56.
Kalah dalam pencalonan senator, usia 58.
Terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat, usia 60.
Abraham Lincoln siap terus kalah dalam pemilihan, gagal dalam bisnis dan sebagainya. Ia sadar, itulah harga kesuksesannya. Dan, ketika ia mau membayarnya, sukses pun ia raih. Apa yang terjadi padanya, ketika di usia 58, setelah ia kalah dalam pencalonan senator, ia memutuskan berhenti dari dunia politik. Mungkinkah ia menjadi presiden legendaris Amerika? Saya yakin tidak. Sejarah tidak akan mencatatnya sebagai salah seorang presiden Amerika.
Saudara, itulah rumus kesuksesan. Sederhana, kan?
Maukah anda sukses? Pasti mau.
Maukah anda membayar harga kesuksesan anda? Saya yakin anda mau juga.
Kunci 3:
Sumberdaya anda,
untuk Konsumsi Leher ke bawah atau Investasi leher ke atas.
Siapa orang sukses yang anda kagumi? Kalau saya, salah satunya adalah Bill Gates. Orang terkaya di dunia saat ini (tahun 2006). Kalau untuk anda, mungkin beda. Nggak apa-apa. Bagi anda yang senang sepakbola, mungkin Ronaldinho, orang sukses yang anda kagumi. Bagi anda yang gemar golf, Tiger Wood mungkin pilihan terbaik. Bagi anda yang gemar film, wah banyak sekali ya. Bagi anda yang gemar politik, mungkin Mahathir Muhammad, tokoh yang anda kagumi. Bagi anda yang senang berbisnis, mungkin Donald Trump dan Robert T. Kiyosaki menjadi pilihan anda. Ah,.. cukuplah contohnya, ya.
Sekarang pertanyaannya adalah mengapa mereka bisa sukses, sedang sebagian besar orang lain tidak? Padahal sumberdaya yang dimiliki oleh semua orang sama? Apakah volume otak Bill Gates, Ronaldinho, Tiger Wood, Mahathir Muhammad, Donald Trump, dan Robert T. Kiyosaki beda dengan sebagian besar manusia? Jelas tidak. Apakah waktu yang mereka miliki per hari lebih banyak? Jelas tidak. Apakah mereka punya tambahan indera selain indera-indera yang kita punya? Jelas tidak. Apakah mereka semua lahir dari kalangan orang kaya dan sukses? Tidak semua. Jadi, volume otak, jumlah waktu yang dimiliki per hari, indera, dan keturunan tidak berpengaruh pada kesuksesan mereka. Kalau bukan hal-hal itu, lalu perbedaan apa yang membedakan mereka dari sebagian besar orang?
Guru saya, Pak Zainal Abidin, memberikan penjelasan. Menurutnya, bukan jumlah waktu yang menentukan, tapi bagaimana memanfaatkan waktu itulah perbedaannya. Bukan volume otak yang berpengaruh, tapi apa yang dimasukkan ke dalam otak itulah perbedaannya. Satu lagi, bukan jumlah uangnya yang berpengaruh besar, tapi untuk apa uang itulah yang membedakan.
Contoh sederhana begini:
Pada pukul 20.00 – 22.00 setiap malam, apa yang anda lakukan? Banyak pilihannya. Anda bisa nonton sinetron di satu stasiun TV. Anda bisa menyimak diskusi politik di stasiun TV yang lain. Anda pun bisa makan malam di restoran favorit anda. Anda bisa ngobrol dengan tetangga di pos hansip. Anda bisa baca komik. Anda pun bisa baca buku ini. Anda bisa bercanda ria dengan anak istri. Anda bisa main catur dengan tetangga. Tapi mana pilihan aktivitas yang menghantarkan anda pada sukses, mana yang bukan?
Anda bisa saja nonton TV. Tapi, apa yang anda tonton akan menghasilkan dampak yang berbeda. Bila pilihan anda jatuh pada sinetron, anda mungkin terhibur, tapi apakah anda bisa lebih sukses? Sama pula dengan baca. Baca buku ini dengan baca komik jelas beda dampaknya. Saya sih yakin baca buku ini lebih banyak manfaatnya (He..he..he... ).
Nah saudara, setiap manusia diberikan modal dasar yang relatif sama. Perbedaan baru muncul dengan bedanya tindakan kita dalam memanfaatkan sumberdaya itu. Secara garis besar, bisa dibagi dua:
1. Orang sukses menggunakan sumberdayanya (waktu, tenaga, pikiran, uang, dsb) untuk meningkatkan kualitas dirinya. Disebutnya investai untuk hal-hal yang di atas leher. Tepatnya otak. Kenapa investasi? Karena istilah investasi tepat. Ia sesuatu yang menghasilkan manfaat terus menerus.
2. Orang gagal menggunakan sumberdayanya (waktu, tenaga, pikiran, uang, dsb) untuk kesenangan dirinya saja. Disebutnya konsumsi untuk hal-hal yang di bawah leher. Kenapa konsumsi? Karena istilah ini tepat untuk menggambarkan sesuatu yang manfaatnya sekali habis.
Contoh : anda punya uang Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).
Bila anda gunakan uang tersebut untuk beli buku pengembangan diri, lalu membaca dan melakukannya, maka anda sedang melakukan investasi leher ke atas. Tapi, bila anda manfaatkan uang itu untuk makan malam di restoran favorit anda, maka anda sedang melakukan konsumsi leher ke bawah.
Lalu apa perbedaannya?
Membeli, membaca dan melakukan buku pengembangan diri berarti anda telah meningkatkan kualitas diri anda. Manfaatnya pun jangka panjang. Pengetahuan yang telah anda tahu, bisa bermanfaat terus selama anda hidup. Meski lupa, anda bisa membaca bukunya lagi dan mengingatnya lagi. Iya, kan?
Berbeda dengan makan di resto favorit anda. Manfaatnya anda bisa kenyang dan senang. Tapi seberapa lama? Sebentar saja bukan? Besok paginya anda sudah lapar lagi. Kesenangan yang anda dapat pun mungkin sudah tak terasa lagi. Selesai. Dampak Rp. 100.000 anda hilang dalam semalam. Beda dengan baca buku, kan?
Selain itu, pendapatan anda, secara langsung dipengaruhi oleh investasi anda untuk leher ke atas. Bukan oleh konsumsi anda untuk leher ke bawah.
Contoh :
Bila anda punya perusahaan. Anda punya dua orang karyawan. Satu lulusan SMP. Satunya lagi sarjana. Usia keduanya sama. Dan dua-duanya belum punya pengalaman kerja dimanapun. Di posisi apa anda akan akan menempatkan keduanya? Bagaimana pula anda menggajinya? Saya yakin, posisi karyawan yang sarjana lebih baik dari posisi karyawan yang lulusan SMP. Gajinya pun beda. Gaji karyawan sarjana lebih tinggi dari karyawan lulusan SMP. Mengapa begitu? Saya yakin karena menurut anda kemampuan keduanya beda. Karyawan sarjana lebih banyak menginvestasikan sumberdayanya untuk leher ke atas dibanding karyawan lulusan SMP.
Dalam contoh di atas, ukurannya adalah pendidikan. Anda mungkin bertanya: “Mungkin tidak, ada lulusan SMP yang jadi atasan sedang bawahannya para sarjana?” Jawabannya mungkin dan buktinya banyak. Bill Gates bukan sarjana. Tapi karyawannya ada yang profesor. Lalu apa perbedaan yang membedakan tingkat kesuksesan orang? Jawabannya seberapa banyak sumberdaya yang diinvestasikan untuk leher ke atas?
Sangat mungkin seorang lulusan SMP lebih hebat dibanding sarjana. Bagaimana bisa? Bisa, bila sang lulusan SMP lebih banyak menginvestasikan sumberdayanya (waktu, uang, tenaga, pikiran, dsb) untuk investasi leher ke atas.
Misalnya anda lulusan SMP. Anda senang ikut berbagai kursus. Anda ikut kursus bahasa Inggris, kursus komputer, kursus pengembangan kepribadian, senang baca buku positif, senang bergaul dengan orang-orang sukses, punya rasa ingin tahu yang tinggi dan gemar bertanya. Kualitas anda pasti lebih dari sarjana yang masuk universitasnya nyogok, kuliahnya sering bolos, setiap malam dugem ke diskotik, kalau ujian nyontek, nggak senang baca buku, nggak betah ikut pelatihan atau seminar, nggak bisa komputer padahal komputernya punya. Dengan kompetensi anda seperti itu, maka saya yakin pendapatan anda pun akan lebih dari sang sarjana yang kurang kompeten tersebut.
Saudara, investasi leher ke atas lah yang membuat anda sukses. Bukan konsumsi leher ke bawah. Kenapa begitu? Karena investasi leher ke atas dapat meningkatkan kualitas diri anda. Kualitas diri anda itulah yang dapat meningkatkan pendapatan anda, dan mempercepat kesukesan anda.
Inilah perbedaan yang membedakan orang-orang sukses (ACHIEVER) dengan orang-orang biasa saja (SAVE SEEKER) dan orang-orang gagal (LOOSER).
Orang-orang sukses lebih banyak menginvestasikan suberdayanya untuk leher ke atas (kompetensi).
Orang-orang biasa lebih banyak mengkonsumsikan sumberdayanya untuk leher ke bawah. Sedang orang-orang gagal, mereka merusak sumberdaya yang mereka miliki.
[Sumber : dari seorang teman]
0 komentar: