Sejarah membuktikan bahwa Emas (Gold) adalah komoditas yang telah menjelma menjadi salah satu media investasi yang sangat menguntungkan. Belakangan diberitakan bahwa emas kembali mencatat rekor harga tertinggi setelah IMF selaku lembaga keuangan internasional menjual cadangan emasnya sebanyak 200 ton kepada India.
Pembelian emas oleh India merupakan salah satu upaya melindungi asset dan satu bentuk upaya investasi. Apalagi di tengah ketidapastian ekonomi yang masih dibayang-bayangi oleh dampak krisis global yang belum memberikan informasi yang menguntungkan akan masa depan ekonomi dunia.
Emas dikatakan menguntungkan dapat dinilai dari perkembangan volatilitasnya yang hingga saat ini menunjukkan trend positif. Pada tahun 1800, harga emas per satu troy ons setara dengan 19,39 Dolar AS. Sementara dua ratus tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2004, satu troy ons setara dengan 455,757. Dan, pada tahun 2009, harga emas telah menembus harga di atas 1000 US Dolar.
Dengan demikian, selama dua abad berlalu, emas telah mengalami apresiasi yang luas biasa sebesar 5057,29 persen terhadap dolar. Apabila di rata-rata, maka setiap tahun dalam rentang dua abad, emas mengalami kenaikan sebesar 24,20 persen setiap tahun terhadap dolar AS.
Berdasar pada perhitungan sederhana di atas, maka tak terelakkan bahwa emas merupakan salah satu komoditas yang paling digandrungi. Bukan tidak mungkin menjadi komoditas yang diminati oleh para investor khususnya. Maka dari itu, wajar bilamana pada era 1800-an pemerintah eropa menerapkan system merkantilisme, yaitu sistem yang mensyaratkan untuk mengumpulkan emas sebanyak-banyaknya.
Pengumpulan pada masa itu merupakan salah satu indikasi untuk mengukur kekayaan suatu Negara. Dan, saat ini, memang terbukti bahwa Negara yang memegang emas dengan kuantitas besar dapat dikatakan memiliki tingkat kekayaan yang besar.
Setidaknya, ada dua pertimbangan mengapa seseorang harus berinvestasi dalam bentuk emas:
Pertama, emas merupakan satu-satunya komoditas yang mencatat prestasi sebagai komoditas yang stabil. Stabilitas emas dapat dibuktikan secara sederhana dengan transaksi ekonomi. Dikisahkan, berdasar riwayat oleh Imam Bukhari, bahwa suatu ketika Rasulullah SAW menyuruh Urwah (salah seorang sahabat) membeli kambing seharga 1 dinar. Dengannya Urwah mendapat 2 kambing, dan bila diasumsikan kambing berukuran sedang harganya setengah dinar, maka tidak akan jauh berbeda bila dibandingkan sekarang.
Mari kita hitung secara matematis sederhana. Bila diperoleh suatu takaran bahwa 1 dinar setara dengan 4,22 gram emas emas murni atau 0,135 ons. Maka, bila kita asumsikan bahwa harga emas saat ini satu troy ons adalah 1000 US Dolar, maka 1 dinar setara dengan 135 dolar US Dolar. Kemudian anggap nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS saat ini adalah Rp 9400/USD, maka kita peroleh 1 dinar setara dengan kira-kira Rp 1,269,000.
Berdasar kisah di atas, disebutkan bahwa 1 dinar bisa memperoleh 2 ekor kambing berukuran sedang yang berarti seekor kambing dihargai sekitar Rp 600 ribu. Dan, bila kita bandingkan dengan kondisi sekarang, maka harga kambing di Indonesia dengan ukuran sedang tidak akan berbeda jauh dari Rp 600,000.
Dengan demikian, dalam rentang 14 abad, emas terbukti memiliki daya beli yang dapat dikatakan tidak berubah. Hal ini, memberikan suatu indikasi bahwa investasi dengan emas tidak memberikan kerugian baik secara internal maupun eksternal.
Secara internal berarti, emas dapat menjaga dan merupakan komoditas yang berfungsi sebagai alat penyimpan nilai yang stabil. Sehingga, relatif aman untuk menjaga nilai kekayaan seseorang. Secara eksternal, emas dapat memberikan fungsi sebagai alat yang stabil untuk bertransaksi. Bertransaksi dengan emas tak akan lekang dengan waktu dan tempat, serta terbukti dapat bertahan menjaga nilai transaksi ekonomi yang dilakukan (kecil termakan inflasi).
Kedua, emas memberikan keuntungan berupa jaminan nilai terutama pada masa yang terus berubah. Dalam teori ekonomi disebutkan bahwa ekonomi sarat dengan ketidakpastian (uncertainty) dan dipertegas dalam modern ekonomi bahwa semua transaksi ekonomi dilandasi oleh rasionalitas (rationality).
Merespon kedua fenomena di atas dan bila dikaitkan dengan investasi, maka saat ini pelaku ekonomi memerlukan suatu media yang dapat mengakomodasi keduanya sekaligus. Emas merupakan komoditas yang bilamana kita beli dalam suatu transaksi, maka ketika kita menjualnya secara real dan nominal menguntungkan. Secara real mengacu pad sifat emas yang tahan lama dan tidak mudah aus (rusak) sedangkan secara nominal akan meningkat.
Aplikasi Emas Menjadi Mata Uang
Setelah mengamati bahwa emas sebagai komoditas yang menguntungkan baik secara intrinsik maupun ekstrinsik, maka bagaimana bila emas diaplikasikan ke dalam suatu sistem moneter global. Selama ini, kita sadar atau tidak telah berada dalam suatu kubangan sistem moneter global yang sarat dengan ketidakdilan dan ketidakpastian.
Dollar sebagai mata uang global telah menjelma menjadi kekuatan raksasa yang siap menghisap kekayaan negara di dunia serta menciptakan ketidakstabilan ekonomi global. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Setidaknya ada 4 hal yang kita bisa cermati yaitu:
Pertama, dalam ekonomi internasional kita mengetahui bahwa kelebihan pendapatan ekspor dibanding pengeluaran impor akan dicatat dalam akun surplus. Dalam kondisi surplus, maka diwujudkan dengan aliran masuk devisa ke dalam reserve Negara. Dalam kondisi devisa mengalir masuk, maka akhirnya menambah reserve suatu Negara yaitu secara spesifik reserve dalam denominasi dollar meningkat. Dalam kondisi dolar berfluktuasi, maka nilai reserve pun berfluktuasi mengikuti pergerakan dolar.
Untuk menjaga biaya memegang dolar agar tidak merugi terlalu besar, maka langkah hedging pun dilakukan dengan batas berdasar spekulasi pemagang dolar. Tentunya hedging memberikan konsekuensi berupa biaya hedging yang dikeluarkan demi penyelematan akibat perubahan kurs. Akibat terburuk hedging adalah bila perubahan kurs kurang dari batas hedging yang dilakukan. Bila hal di atas terjadi pada skope/area yang luas maka instabilitas ekonomi akan terjadi.
Kedua, pemegang dolar yang mengkonversikan mata uangnya ke dalam mata uang domestik yang mengakibatkan pada apresiasi kurs. Sesuai dengan teori ekonomi, bahwa ketika apresiasi terjadi, maka daya saing ekspor negara tersebut menurun relatif terhadap negara pengimpor. Hal ini karena apresiasi mata uang domestik direspon dengan ekspekstasi bahwa harga produk ekspor relatif mahal sehingga mendorong penurunan eskpor.
Dalam kondisi ekspor menurun, maka pendapatan Negara berkurang yang kemudian menjelma menjadi defisit anggaran. Defisit anggaran mendorong Negara untuk mencari pendapatan untuk menutupnya minimal dengan 2 cara yaitu memperbesar rasio hutang baik domestik maupun luar negeri atau dengan mencetak uang (seignorage). Sayangnya, kedua cara ini pada akhirnya dapat memicu instabilitas ekonomi.
Ketiga, surplus dolar AS ditempatkan di perbankan. Sebagaimana diketahui bahwa perbankan merupakan lembaga intermediasi yang dalam hal berupaya menyalurkan dana yang diterima melalui instrumen kredit. Namun, kredit sebenarnya adalah hutang perekonomian kepada depositor. Eksesif kredit pada akhirnya menciptakan kredit bubble seperti halnya kredit perumahan di AS yang berujung krisis global.
Bagaimana pun juga, perbankan seoptimal mungkin akan memberikan kreditnya karena terbebani oleh bunga pembayaran kepada depositor. Sehingga, perbankan sangat eksesif dan memberikan kredit tanpa pertimbangan apakah sektor tersebut memberikan nilai tambah real bagi perekonomian. Pada akhirnya, penciptaan kredit ini mendorong overheating ekonomi yang kemudian bisa memicu hiperinflasi.
Kondisi di atas, sangat kontras dan dapat terminimalisasi manakala emas digunakan sebagai mata uang global. Kunci utama mengapa emas dapat meminimalkan semua akibat di atas adalah karena emas bernilai bukan karena diundangkan atau dijamin oleh undang-undang. Tetapi, karena emas bernilai karena kandungan logam mulia yang diakui semua orang.
Dengan demikian, aplikasi emas dalam perekonomian dapat dilihat pada transaksi perdagangan internasional. Dalam transaksi internasional, anggap ada 2 negara melakukan transaksi di mana satu negara mengalami suplus perdagangan, dan satu negara defisit.
Pada kasus negara surplus, maka cadangan emas meningkat yang kemudian disertai dengan peningkatan kredit bank, peningkatan aktivitas ekonomi, dan akhirnya inflasi pun terjadi. Pada kondisi inflasi, maka harga-harga terdongkrak naik sehingga daya saing ekonomi pun menurun dan mendorong penurunan laju ekspor.
Di pihak lain, negara yang mengalami defisit, ia mengalami kesulitan ekonomi dan penurunan aktivitas ekonomi terjadi. Merespon penurunan itu, maka harga-harga pun menurun yaitu dengan asumsi pemerintah mendistorsi pasar dengan injeksi likuditas. Dalam kondisi harga murah, maka harga barang ekspor relatif murah menurut negara surplus.
Akhirnya, negara surplus mengimpor barang yang pada gilirannya menambah reserve negara yang mengalami defisit. Dengan demikian, dalam sistem emas terjadi penyesuaian automatis yang memungkinkan negara-negara yang melakukan transaksi perdagangan mengalami sustainabilitas ekonomi. Sehingga, dalam jangka panjang akan tercipta hubungan yang saling menguntungkan dan saling menyeimbangkan dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi berdasar sistem emas.
Akhirnya, baik investasi emas maupun sistem emas memberikan ruang gerak yang luas bagi suatu perekonomian untuk berkembang secara adil dan berkesinambungan. Keduanya mampu juga dalam meminimalkan efek ketidakpastian dan meningkatkan rasional dalam transaksi ekonomi. Dukungan kebijakan dan kesungguhan pelaku ekonomi akan sangat berarti untuk mewujudkan emas sebagai standar moneter global yang berkeadilan.
Penulis : Dimas Bagus Wiranata Kusuma
- Kandidat Master of Economics International Islamic University Malaysia (IIUM),
- Assistant Lecture of Islamic Economic Studies, Airlangga University, Surabaya Indonesia,
- Direktur Humas of Islamic Economic Forum for Indonesian Development (ISEFID) Kuala Lumpur.
dimas_economist@yahoo.com (+60-169026445) (+60-169026445)
Muhammad Akhyar Adnan
Associate Professor Kulliyah of Economics and Management Sciences International Islamic University Malaysia
Pembelian emas oleh India merupakan salah satu upaya melindungi asset dan satu bentuk upaya investasi. Apalagi di tengah ketidapastian ekonomi yang masih dibayang-bayangi oleh dampak krisis global yang belum memberikan informasi yang menguntungkan akan masa depan ekonomi dunia.
Emas dikatakan menguntungkan dapat dinilai dari perkembangan volatilitasnya yang hingga saat ini menunjukkan trend positif. Pada tahun 1800, harga emas per satu troy ons setara dengan 19,39 Dolar AS. Sementara dua ratus tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2004, satu troy ons setara dengan 455,757. Dan, pada tahun 2009, harga emas telah menembus harga di atas 1000 US Dolar.
Dengan demikian, selama dua abad berlalu, emas telah mengalami apresiasi yang luas biasa sebesar 5057,29 persen terhadap dolar. Apabila di rata-rata, maka setiap tahun dalam rentang dua abad, emas mengalami kenaikan sebesar 24,20 persen setiap tahun terhadap dolar AS.
Berdasar pada perhitungan sederhana di atas, maka tak terelakkan bahwa emas merupakan salah satu komoditas yang paling digandrungi. Bukan tidak mungkin menjadi komoditas yang diminati oleh para investor khususnya. Maka dari itu, wajar bilamana pada era 1800-an pemerintah eropa menerapkan system merkantilisme, yaitu sistem yang mensyaratkan untuk mengumpulkan emas sebanyak-banyaknya.
Pengumpulan pada masa itu merupakan salah satu indikasi untuk mengukur kekayaan suatu Negara. Dan, saat ini, memang terbukti bahwa Negara yang memegang emas dengan kuantitas besar dapat dikatakan memiliki tingkat kekayaan yang besar.
Setidaknya, ada dua pertimbangan mengapa seseorang harus berinvestasi dalam bentuk emas:
Pertama, emas merupakan satu-satunya komoditas yang mencatat prestasi sebagai komoditas yang stabil. Stabilitas emas dapat dibuktikan secara sederhana dengan transaksi ekonomi. Dikisahkan, berdasar riwayat oleh Imam Bukhari, bahwa suatu ketika Rasulullah SAW menyuruh Urwah (salah seorang sahabat) membeli kambing seharga 1 dinar. Dengannya Urwah mendapat 2 kambing, dan bila diasumsikan kambing berukuran sedang harganya setengah dinar, maka tidak akan jauh berbeda bila dibandingkan sekarang.
Mari kita hitung secara matematis sederhana. Bila diperoleh suatu takaran bahwa 1 dinar setara dengan 4,22 gram emas emas murni atau 0,135 ons. Maka, bila kita asumsikan bahwa harga emas saat ini satu troy ons adalah 1000 US Dolar, maka 1 dinar setara dengan 135 dolar US Dolar. Kemudian anggap nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS saat ini adalah Rp 9400/USD, maka kita peroleh 1 dinar setara dengan kira-kira Rp 1,269,000.
Berdasar kisah di atas, disebutkan bahwa 1 dinar bisa memperoleh 2 ekor kambing berukuran sedang yang berarti seekor kambing dihargai sekitar Rp 600 ribu. Dan, bila kita bandingkan dengan kondisi sekarang, maka harga kambing di Indonesia dengan ukuran sedang tidak akan berbeda jauh dari Rp 600,000.
Dengan demikian, dalam rentang 14 abad, emas terbukti memiliki daya beli yang dapat dikatakan tidak berubah. Hal ini, memberikan suatu indikasi bahwa investasi dengan emas tidak memberikan kerugian baik secara internal maupun eksternal.
Secara internal berarti, emas dapat menjaga dan merupakan komoditas yang berfungsi sebagai alat penyimpan nilai yang stabil. Sehingga, relatif aman untuk menjaga nilai kekayaan seseorang. Secara eksternal, emas dapat memberikan fungsi sebagai alat yang stabil untuk bertransaksi. Bertransaksi dengan emas tak akan lekang dengan waktu dan tempat, serta terbukti dapat bertahan menjaga nilai transaksi ekonomi yang dilakukan (kecil termakan inflasi).
Kedua, emas memberikan keuntungan berupa jaminan nilai terutama pada masa yang terus berubah. Dalam teori ekonomi disebutkan bahwa ekonomi sarat dengan ketidakpastian (uncertainty) dan dipertegas dalam modern ekonomi bahwa semua transaksi ekonomi dilandasi oleh rasionalitas (rationality).
Merespon kedua fenomena di atas dan bila dikaitkan dengan investasi, maka saat ini pelaku ekonomi memerlukan suatu media yang dapat mengakomodasi keduanya sekaligus. Emas merupakan komoditas yang bilamana kita beli dalam suatu transaksi, maka ketika kita menjualnya secara real dan nominal menguntungkan. Secara real mengacu pad sifat emas yang tahan lama dan tidak mudah aus (rusak) sedangkan secara nominal akan meningkat.
Aplikasi Emas Menjadi Mata Uang
Setelah mengamati bahwa emas sebagai komoditas yang menguntungkan baik secara intrinsik maupun ekstrinsik, maka bagaimana bila emas diaplikasikan ke dalam suatu sistem moneter global. Selama ini, kita sadar atau tidak telah berada dalam suatu kubangan sistem moneter global yang sarat dengan ketidakdilan dan ketidakpastian.
Dollar sebagai mata uang global telah menjelma menjadi kekuatan raksasa yang siap menghisap kekayaan negara di dunia serta menciptakan ketidakstabilan ekonomi global. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Setidaknya ada 4 hal yang kita bisa cermati yaitu:
Pertama, dalam ekonomi internasional kita mengetahui bahwa kelebihan pendapatan ekspor dibanding pengeluaran impor akan dicatat dalam akun surplus. Dalam kondisi surplus, maka diwujudkan dengan aliran masuk devisa ke dalam reserve Negara. Dalam kondisi devisa mengalir masuk, maka akhirnya menambah reserve suatu Negara yaitu secara spesifik reserve dalam denominasi dollar meningkat. Dalam kondisi dolar berfluktuasi, maka nilai reserve pun berfluktuasi mengikuti pergerakan dolar.
Untuk menjaga biaya memegang dolar agar tidak merugi terlalu besar, maka langkah hedging pun dilakukan dengan batas berdasar spekulasi pemagang dolar. Tentunya hedging memberikan konsekuensi berupa biaya hedging yang dikeluarkan demi penyelematan akibat perubahan kurs. Akibat terburuk hedging adalah bila perubahan kurs kurang dari batas hedging yang dilakukan. Bila hal di atas terjadi pada skope/area yang luas maka instabilitas ekonomi akan terjadi.
Kedua, pemegang dolar yang mengkonversikan mata uangnya ke dalam mata uang domestik yang mengakibatkan pada apresiasi kurs. Sesuai dengan teori ekonomi, bahwa ketika apresiasi terjadi, maka daya saing ekspor negara tersebut menurun relatif terhadap negara pengimpor. Hal ini karena apresiasi mata uang domestik direspon dengan ekspekstasi bahwa harga produk ekspor relatif mahal sehingga mendorong penurunan eskpor.
Dalam kondisi ekspor menurun, maka pendapatan Negara berkurang yang kemudian menjelma menjadi defisit anggaran. Defisit anggaran mendorong Negara untuk mencari pendapatan untuk menutupnya minimal dengan 2 cara yaitu memperbesar rasio hutang baik domestik maupun luar negeri atau dengan mencetak uang (seignorage). Sayangnya, kedua cara ini pada akhirnya dapat memicu instabilitas ekonomi.
Ketiga, surplus dolar AS ditempatkan di perbankan. Sebagaimana diketahui bahwa perbankan merupakan lembaga intermediasi yang dalam hal berupaya menyalurkan dana yang diterima melalui instrumen kredit. Namun, kredit sebenarnya adalah hutang perekonomian kepada depositor. Eksesif kredit pada akhirnya menciptakan kredit bubble seperti halnya kredit perumahan di AS yang berujung krisis global.
Bagaimana pun juga, perbankan seoptimal mungkin akan memberikan kreditnya karena terbebani oleh bunga pembayaran kepada depositor. Sehingga, perbankan sangat eksesif dan memberikan kredit tanpa pertimbangan apakah sektor tersebut memberikan nilai tambah real bagi perekonomian. Pada akhirnya, penciptaan kredit ini mendorong overheating ekonomi yang kemudian bisa memicu hiperinflasi.
Kondisi di atas, sangat kontras dan dapat terminimalisasi manakala emas digunakan sebagai mata uang global. Kunci utama mengapa emas dapat meminimalkan semua akibat di atas adalah karena emas bernilai bukan karena diundangkan atau dijamin oleh undang-undang. Tetapi, karena emas bernilai karena kandungan logam mulia yang diakui semua orang.
Dengan demikian, aplikasi emas dalam perekonomian dapat dilihat pada transaksi perdagangan internasional. Dalam transaksi internasional, anggap ada 2 negara melakukan transaksi di mana satu negara mengalami suplus perdagangan, dan satu negara defisit.
Pada kasus negara surplus, maka cadangan emas meningkat yang kemudian disertai dengan peningkatan kredit bank, peningkatan aktivitas ekonomi, dan akhirnya inflasi pun terjadi. Pada kondisi inflasi, maka harga-harga terdongkrak naik sehingga daya saing ekonomi pun menurun dan mendorong penurunan laju ekspor.
Di pihak lain, negara yang mengalami defisit, ia mengalami kesulitan ekonomi dan penurunan aktivitas ekonomi terjadi. Merespon penurunan itu, maka harga-harga pun menurun yaitu dengan asumsi pemerintah mendistorsi pasar dengan injeksi likuditas. Dalam kondisi harga murah, maka harga barang ekspor relatif murah menurut negara surplus.
Akhirnya, negara surplus mengimpor barang yang pada gilirannya menambah reserve negara yang mengalami defisit. Dengan demikian, dalam sistem emas terjadi penyesuaian automatis yang memungkinkan negara-negara yang melakukan transaksi perdagangan mengalami sustainabilitas ekonomi. Sehingga, dalam jangka panjang akan tercipta hubungan yang saling menguntungkan dan saling menyeimbangkan dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi berdasar sistem emas.
Akhirnya, baik investasi emas maupun sistem emas memberikan ruang gerak yang luas bagi suatu perekonomian untuk berkembang secara adil dan berkesinambungan. Keduanya mampu juga dalam meminimalkan efek ketidakpastian dan meningkatkan rasional dalam transaksi ekonomi. Dukungan kebijakan dan kesungguhan pelaku ekonomi akan sangat berarti untuk mewujudkan emas sebagai standar moneter global yang berkeadilan.
Penulis : Dimas Bagus Wiranata Kusuma
- Kandidat Master of Economics International Islamic University Malaysia (IIUM),
- Assistant Lecture of Islamic Economic Studies, Airlangga University, Surabaya Indonesia,
- Direktur Humas of Islamic Economic Forum for Indonesian Development (ISEFID) Kuala Lumpur.
dimas_economist@yahoo.com (+60-169026445) (+60-169026445)
Muhammad Akhyar Adnan
Associate Professor Kulliyah of Economics and Management Sciences International Islamic University Malaysia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar