Negara menghendaki stabilitas.
Masyarakat menghendaki ketertiban.
Sejarah menghendaki keamanan.
Jiwa menghendaki ketenangan.
Hati menghendaki keheningan. Mental menghendaki endapan.
Dan seluruh kehidupan ini, di ujungnya nanti, menghendaki ketentraman, keheningnan, kemurnian.
Karena itu, agama menganjurkan kembali ke fithri.
Kita berdagang, berpolitik, berperang, bergulat, bekerja banting tulang, bikin rumah, bersaing dengan tetangga.
Yang tertinggi dari itu semua dan yang paling dirindukan olh jiwa, adalah "air bening hidup".
Hidup bagai gelombang samudera. Hidup bergolak. Segala pengalaman perjalanan Anda adalah arus air sungai yang mencari muaranya.
Masa muda melonjak-lonjak. Tapi masa muda berjalan menuju masa senja. Dan masa senja bukanlah lonjakan-lonjakan, melainkan ketenangnan dan kebeningan.
Maka, lewat naluri ataupun kesadaran, setiap manusia mengarungi waktu untuk pada akhirnya menemukan "air bening".
Ada orang yang dipilihkan oleh Tuhan atau memilih sendiri untuk mengembara langsung ke gunung-gunung dan menemukan sumber air murni.
Orang lain menunggu saja saudaranya pulang dari gunung untuk dikasih secangkir kebeningan.
Orng yang lain lagi menjumpai dunia adalah kotoran, maka ia ciptakan teknologi untuk menyaring kembali air itu dan menemukan kebeningannya.
Sementara ada orang yang hidupnya menyusur sungai, parit-parit kumuh, got-got, kubangan-kubangan. Sampai akhir hayatnya tak mungkin ia memilih sesuatu yang lain, karena mungkin tak punya kendaraan, tak punya kapal, bahkan tak punya sendal untuk melindungi kakinya dari kotoran-kotoran. Ketidakmungkinan itu mungkin karena memang 'dipilihkan' oleh Yang Empunya Nasib, tapi mungkin juga didesak oleh kekuatan-keuatan zamn yang membuatnya senantiasa terdesak, terpinggir dan tercampak ke got-got.
Bagaimana cara orang terakhir ini menemukan air bening?
Di dalam sembahyangnya, permenungannya, penghayatannya, kecerdasannya serta kepekaan hatinya. Ia tahu tidak ada air yang tak bening.
Semua air itu bening. Tidak ada "air kotor", melainkan air bening yang dicampuri oleh kotoran.
Dengan menemukan jarak antara kotoran dengan air bening, tahulah ia dan ketemulah ia dengan sumber kebeningannya. Ia terus hidup di got-got, dan justru kotoran-kotoran itu makin menyadarkannya pada keberadaan air bening dalam got-got.
Adakah makna hal itu dalam kehidupan Anda?
[Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/ PadhangmBulanNet Dok]
Masyarakat menghendaki ketertiban.
Sejarah menghendaki keamanan.
Jiwa menghendaki ketenangan.
Hati menghendaki keheningan. Mental menghendaki endapan.
Dan seluruh kehidupan ini, di ujungnya nanti, menghendaki ketentraman, keheningnan, kemurnian.
Karena itu, agama menganjurkan kembali ke fithri.
Kita berdagang, berpolitik, berperang, bergulat, bekerja banting tulang, bikin rumah, bersaing dengan tetangga.
Yang tertinggi dari itu semua dan yang paling dirindukan olh jiwa, adalah "air bening hidup".
Hidup bagai gelombang samudera. Hidup bergolak. Segala pengalaman perjalanan Anda adalah arus air sungai yang mencari muaranya.
Masa muda melonjak-lonjak. Tapi masa muda berjalan menuju masa senja. Dan masa senja bukanlah lonjakan-lonjakan, melainkan ketenangnan dan kebeningan.
Maka, lewat naluri ataupun kesadaran, setiap manusia mengarungi waktu untuk pada akhirnya menemukan "air bening".
Ada orang yang dipilihkan oleh Tuhan atau memilih sendiri untuk mengembara langsung ke gunung-gunung dan menemukan sumber air murni.
Orang lain menunggu saja saudaranya pulang dari gunung untuk dikasih secangkir kebeningan.
Orng yang lain lagi menjumpai dunia adalah kotoran, maka ia ciptakan teknologi untuk menyaring kembali air itu dan menemukan kebeningannya.
Sementara ada orang yang hidupnya menyusur sungai, parit-parit kumuh, got-got, kubangan-kubangan. Sampai akhir hayatnya tak mungkin ia memilih sesuatu yang lain, karena mungkin tak punya kendaraan, tak punya kapal, bahkan tak punya sendal untuk melindungi kakinya dari kotoran-kotoran. Ketidakmungkinan itu mungkin karena memang 'dipilihkan' oleh Yang Empunya Nasib, tapi mungkin juga didesak oleh kekuatan-keuatan zamn yang membuatnya senantiasa terdesak, terpinggir dan tercampak ke got-got.
Bagaimana cara orang terakhir ini menemukan air bening?
Di dalam sembahyangnya, permenungannya, penghayatannya, kecerdasannya serta kepekaan hatinya. Ia tahu tidak ada air yang tak bening.
Semua air itu bening. Tidak ada "air kotor", melainkan air bening yang dicampuri oleh kotoran.
Dengan menemukan jarak antara kotoran dengan air bening, tahulah ia dan ketemulah ia dengan sumber kebeningannya. Ia terus hidup di got-got, dan justru kotoran-kotoran itu makin menyadarkannya pada keberadaan air bening dalam got-got.
Adakah makna hal itu dalam kehidupan Anda?
[Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/ PadhangmBulanNet Dok]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar